8 Okt 2013

Fort Rotterdam, Benteng Indah di Bumi Anging Mamiri

    Megah dan indah, kesan pertama yang muncul ketika pertama kali menjejakkan kaki di komplek benteng Fort Rotterdam atau dulu bernama benteng Ujung Pandang. Tidak seperti benteng lain yang kebanyakan sudah berupa puing dan tidak terawat, benteng Fort Rotterdam ini tertata rapi dan kondisi bangunannya masih relatif bagus. Ada lagi yang menggelitik di perasaan saya adalah desain dan gaya bangunan Fort Rotterdam yang sangat kental nuansa Eropa, ternyata adalah peninggalan dari nenek moyang kita yaitu Kerajaan Gowa-Tallo. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros.

 Taman di tengah benteng

Pintu masuk Fort Rotterdam

     Benteng ini memiliki bentuk yang unik. Jika kita perhatikan di maket yang terdapat di museum La Galigo, bentuknya menyerupai kura-kura. Terdapat empat bastion utama yang seolah-olah menjadi kaki untuk sang kura-kura. Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.
Untuk menghubungkan masing-masing bastion digunakan tembok kokoh dengan konstruksi batu padas. Di sepanjang tembok ini terdapat jalur menyerupai parit yang digunakan oleh pasukan penjaga benteng untuk berlindung dan berpindah antar bastion. Kita bisa menaiki dan menyusuri tembok ini untuk merasakan sensasi menjadi prajurit penjaga benteng.

    Karena bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainya Benteng Panyyua. Bentuknya ini menjelaskan filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Pada masa kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak.

 Tembok penghubung antar bastion

    Namun pada akhirnya Kerajaan Gowa-Tallo harus menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

 Arsitektur benteng sangat kental nuansa kolonial

 Deretan jendela benteng yang membentuk pola simetris

 Suasana indah dan asri

    Di kompleks Benteng Fort Rotterdam juga terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan WeCudai Daeng Risompa dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad ke-14. Berada di dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan rakyat Sulawesi Selatan di zaman dulu.

 Museum La Galigo

    Yang sedikit saya sayangkan adalah keberadaan panggung pertunjukan yang ada di tengah taman benteng Fort Rotterdam, entah ini hanya kebetulan ada pada saat saya berkunjung ke sana atau memang sengaja dibuat disana untuk mengadakan pertunjukan rutin. Dengan adanya panggung ini seakan "merusak" suasana dan tema Benteng yang megah dan indah menjadi semacam taman hiburan (IMHO). 

Panggung pergelaran dan renovasi benteng

Panggung di tengah taman yang agak "mengganggu"

 Sisi lain benteng yang belum direnovasi

Detail jendela benteng
Lokasi: Makassar, South Sulawesi, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com