Megah dan indah, kesan pertama yang muncul ketika pertama kali menjejakkan kaki di komplek benteng Fort Rotterdam atau dulu bernama benteng Ujung Pandang. Tidak seperti benteng lain yang kebanyakan sudah berupa puing dan tidak terawat, benteng Fort Rotterdam ini tertata rapi dan kondisi bangunannya masih relatif bagus. Ada lagi yang menggelitik di perasaan saya adalah desain dan gaya bangunan Fort Rotterdam yang sangat kental nuansa Eropa, ternyata adalah peninggalan dari nenek moyang kita yaitu Kerajaan Gowa-Tallo. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna.
Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa
pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini
diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada
di daerah Maros.
Taman di tengah benteng
Pintu masuk Fort Rotterdam
Benteng ini memiliki bentuk yang unik. Jika kita perhatikan di maket
yang terdapat di museum La Galigo, bentuknya menyerupai kura-kura. Terdapat
empat bastion utama yang seolah-olah menjadi kaki untuk sang kura-kura.
Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.
Untuk
menghubungkan masing-masing bastion digunakan tembok kokoh dengan
konstruksi batu padas. Di sepanjang tembok ini terdapat jalur menyerupai
parit yang digunakan
oleh pasukan penjaga benteng untuk berlindung dan berpindah
antar bastion. Kita bisa menaiki dan menyusuri tembok ini untuk
merasakan sensasi menjadi prajurit penjaga benteng.
Karena
bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainya Benteng Panyyua. Bentuknya ini menjelaskan filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Pada masa kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak.
Tembok penghubung antar bastion
Namun pada akhirnya Kerajaan Gowa-Tallo harus menandatangani perjanjian Bungayya yang
salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng
ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama
Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman
sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya
di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat
penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Arsitektur benteng sangat kental nuansa kolonial
Deretan jendela benteng yang membentuk pola simetris
Suasana indah dan asri
Di kompleks Benteng Fort Rotterdam juga terdapat Museum La Galigo
yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran
Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi
Selatan. La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware,
seorang tokoh masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan
WeCudai Daeng Risompa dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo
dinobatkan menjadi Pajung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad
ke-14. Berada di dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan rakyat Sulawesi Selatan di zaman dulu.
Museum La Galigo
Yang sedikit saya sayangkan adalah keberadaan panggung pertunjukan yang ada di tengah taman benteng Fort Rotterdam, entah ini hanya kebetulan ada pada saat saya berkunjung ke sana atau memang sengaja dibuat disana untuk mengadakan pertunjukan rutin. Dengan adanya panggung ini seakan "merusak" suasana dan tema Benteng yang megah dan indah menjadi semacam taman hiburan (IMHO).
Panggung pergelaran dan renovasi benteng
Panggung di tengah taman yang agak "mengganggu"
Sisi lain benteng yang belum direnovasi
Detail jendela benteng
0 komentar:
Posting Komentar