27 Sep 2013

Jembatan Akar, Seni Merajut Akar Warisan Leluhur

   

    Sebenarnya lokasi ini tidak masuk dalam rencana perjalanan kami. Pada saat perjalanan pulang dari Painan menuju Padang, tanpa sengaja kami melihat sebuah papan nama yang bertuliskan "Jembatan Akar". Karena penasaran dan merasa tanggung karena mengira jaraknya tidak jauh lagi maka kami putuskan untuk "mampir" sebentar. Ternyata dugaan kami meleset, Dari jalan raya menuju lokasi Jembatan akar ini cukup membuat pantat pegal duduk di mobil. Tetapi begitu sampai di lokasi rasa pegal dan penat berganti menjadi rasa takjub dan kagum.

Gerbang masuk menuju ke Jembatan Akar (foto: Indra)

    Begitu sampai di lokasi kita akan disambut gerbang kecil yang berbentuk gonjong khas Minangkabau. Kemudian menuruni anak tangga yang cukup banyak hingga sampai ke lokasi Jembatan. Jembatan akar adalah jembatan yang terbentuk dari jalinan dua akar pohon yang tumbuh berseberangan dan membentang di atas aliran Batang Bayang di kecamatan Bayang Utara, kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Dalam bahasa Minang, jembatan yang letaknya sekitar 88 km sebelah selatan kota Padang ini oleh masyarakat dinamakan titian aka.

     Penduduk setempat mengatakan, jembatan akar pohon dibangun pada 1890 oleh Pakih Sohan, seorang guru agama Islam di Lubuak Silau. Sohan kecewa karena siswa dari daerah Pulut tak bisa menghadiri kelas agama Islam dan tilawah, karena Sungai Batang Bayan yang memisahkan dua desa. Dia lalu menanam dua pohon Jawi-jawi sejenis beringin berdaun lebar dan merakit akarnya melalui batang-batang bambu agar saling berpilin.  



  
    Jembatan ini memiliki panjang 25 meter dan lebar 1,5 meter dengan ketinggian dari permukaan sungai sekitar 10 meter, dan baru dapat digunakan pada tahun 1916. Dengan kata lain, proses merajut akar menjadi jembatan ini membutuhkan waktu lebih kurang 26 tahun. Saat ini, kondisinya semakin lama semakin kuat karena semakin besarnya akar pohon beringin yang membentuknya. Dan dua pohon ini seakan-akan tak ingin terpisahkan satu sama lain.

(foto: Ruly)

    Jadi apa yang bisa kita lakukan di jembatan ini? Yang pasti jangan loncat :) meskipun tepat dibawah jembatan, Sungai Batang Bayang memiliki air jernih dan sangat menyegarkan. Ada hal lain yang bisa kita lakukan misalnya berlenggak-lenggok di atas jembatan. Dari jembatan akar kita bisa melihat ikan larangan yang terlihat wira-wiri didalam sungai. Mengapa ikan larangan? Disebut ikan larangan karena memang tidak boleh ditangkap ataupun dipancing. Konon katanya jika kita berani menangkap atau memancing ikan larangan ini, kita akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Entah benar atau tidak, yang jelas ikan ini memang susah ditangkap.


23 Sep 2013

Mencumbu Alam di Lembah Echo Harau

    Akhirnyaa... setelah hampir 3 tahun saya berada di kota ini berkesempatan juga untuk mengunjungi Echo Homestay & Convention yang berlokasi di kompleks wisata lembah Harau. Penginapan ini berbentuk cottage yang terdiri dari rumah-rumah yang berbeda model setiap unitnya. Jadi setiap pengunjung yang bermalam di sini akan memiliki pegalaman yang berbeda beda. Sebenarnya jarak rumah kontrakan saya dan lembah Harau tidak bisa dibilang jauh, tetapi untuk masuk ke Echo Homestay ini saya baru berkesempatan kemarin. Berawal dari acara kantor yang mengambil tempat disana, kami menyewa sebuah rumah kecil semacam bungalow yang terdiri dari 2 kamar dan masing-masing kamar terdiri dari double bed (spring bed), televisi, kamar mandi dan extra bed yang terletak di lantai 2 mezzanine yang ada di setiap bungalow yang dipergunakan untuk menginap panitia dan menyimpan barang-barang.

 Bungalow yang kami tempati, cukup nyaman dan bersih tempatnya. Dan pastinya tidak perlu AC karena udaranya cukup sejuk (dingin) dan mungkin karena dinginnya udara ini hampir tidak ada nyamuk padahal lokasi homestay ini di tengah lembah yang banyak pepohonannya.

Salah satu sudut interior kamar

    Interiornya serba kayu, cozy dan perabotannya etnik minimalis. Yang menarik nih... kamar mandinya atapnya terbuka, jadi pas lagi mandi kita bisa menikmati keindahan tebing-tebing Harau yang terkenal itu (Kamar mandinya tetap pake kloset duduk dan shower). Dijamin ngga ada yang ngintip (kecuali monyet...hehe) karena letak echo homestay ini paling tinggi dan cukup jauh dari pemukiman sekitarnya. Bungalow terbesar terdiri dari 3 kamar dengan fasilitas lebih mewah. 

 Bungalow Terbesar


 
Beberapa tipe bungalow lain yang berukuran lebih kecil

    Yang menarik dari Echo Homestay ini adalah adanya suatu titik yang tidak jauh dari homestay jika Kita berteriak, maka teriakan kita akan memantul di dinding tebing dan menghasilkan gema atau echo. Mungkin dari sinilah nama lembah Echo diberikan. Silakan Anda bebas berteriak berulang-ulang di titik ini. Tetapi seperti tempat wisata kebanyakan di Indonesia, lembah echo inipun tak luput dari tangan-tangan jahil pelaku vandalism

 
Dari titik inilah kita bisa teriak-teriak (dan diteriakin ulang)


 Narsis sejenak sebelum acara

 Sesi acara indoor di aula yang punya konsep terbuka dan sekali lagi no AC

 Sesi acara outdoor di tempat terbuka yang banyak tersedia di halaman homestay

 Ada juga fasilitas flying fox, walaupun tampaknya kurang tinggi tetapi cukup untuk memacu adrenalin

 Taman yang ada di depan Bungalow yang kami tempati

Dengan latar belakang dinding kokoh lembah Harau


19 Sep 2013

Berteduh di pantai WediOmbo

    Agak aneh apabila mendengar ada orang yang memilih berteduh di pantai. Dan itulah kami, sebenarnya bukan memilih juga sih... karena kalau boleh memilih, kami tentu lebih memilih cuaca yang cerah dan matahari yang bagus untuk sun bathing (biar seperti bule-bule). Sampai di pantai, langit sudah sangat gelap dan angin berhembus cukup kencang. tetapi karena sudah terlanjur sampai dan perjalanan yang kami tempuh cukup jauh maka hujan-hujanan di pantaipun jadilah. Tak berselang lama, hujan yang ditunggu datang juga. Cukup lebat tetapi untungnya tidak begitu lama. Kami menggunakan tempat seadanya untuk berteduh, kebetulan ada gubuk warung yang kosong.

Hujan di pantai Wediombo

     Sebuah imajinasi tentang pasir putih maha luas yang memungkinkan mata untuk leluasa meneropong ke berbagai sudut mungkin akan muncul bila mendengar pantai bernama Wediombo (wedi=pasir, ombo=lebar). begitu pula dengan pemikiran saya pas akan menuju kesini. Namun, sebenarnya pantai Wediombo tak mempunyai hamparan pasir yang (cukup)  luas itu *IMHO*. Bagian barat dan timur pantai diapit oleh bukit karang, membuat hamparan pasir pantai ini tak seluas Parangtritis, Sadranan, atau pantai Drini. Lebih mirip mungkin dengan pantai Baron, Krakal, Kukup yang berbatu karang dangkal sehingga kita bisa mengamati  beberapa biota laut. Tapi selayaknya pantai di Gunung Kidul yang selalu menjadi favorit saya adalah pantainya cukup bersih dan sepi. Pantai ini terletak di Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Pantai ini hampir berbatasan dengan pantai lain yang masuk dalam wilayah kabupatan Wonogiri. Dari Kota Wonosari, jarak pantai ini sekitar 40 kilometer.

   
Batu coral dangkal yang ada di tepi pantai

    Baru setelah hujan reda, kami bisa menyusuri pantai yang cukup panjang. Bentuk pantai ini menyerupai teluk yang lebar. Terdapat batu karang yang mengapit, air lautnya menjorok ke daratan, namun memiliki luas yang lebih lebar dibanding teluk biasa. Pantai Wediombo juga menawarkan pengalaman wisata unik, bahkan ekstrim, yaitu memancing di ketinggian bukit karang. Bukan hal mudah untuk memancing di bukit karang, sebab letaknya yang jauh dari pantai. Bukit karang itu baru bisa dijangkau setelah berjalan ke arah timur menyusuri bibir pantai, naik turun karang di tepian pantai yang terjal, licin dan kadang dihempas ombak besar, kemudian naik lagi hingga puncak bukit karang yang langsung berhadapan dengan laut lepas yang dalam. Bagi yang telah terbiasa saja, perjalanan menuju bukit karang bisa memakan waktu satu jam. Namun, hasil yang luar biasa bisa dituai setelah mengalahkan segala rintangan itu. Minimal, pemancing akan mendapatkan ikan cucut, atau ikan panjo dalam istilah setempat. Ikan yang panjangnya setara dengan lengan manusia dewasa ini punya 2 jenis, yang berbentuk gilig (silinder) banyak ditemui pada musim kemarau, sementara yang gepeng (pipih) ditemui pada musim hujan.
 kondisi bibir pantai yang didominasi batuan coral

 Salah satu "penghuni" pantai Wediombo yaitu landak laut

 Salah satu bagian pantai yang berbatu cukup besar

Pantai Wedi (teluk) ombo

18 Sep 2013

Sensasi Menyeruput Kawa Daun (teh daun kopi)



  
  Asalnya dari bagian pohon kopi, namun secangkir Kawa Daun ini berbeda dengan kopi. Kawa Daun ini lebih pas jika dimasukan dalam ragam teh, karena bahan untuk membuatnya bukan dari biji kopi, melainkan dari daun kopi. Kawa Daun ini adalah minuman tradisional dari daerah Minangkabau terutama di daerah Tanah Datar. Sejarah teh Kawa Daun awalnya berasal dari sebuah ironi ibarat cerita satir namun kemudian menjadi sebuah kisah istimewa. Kopi adalah produk utama dan andalan kolonial Belanda yang mempunyai harga sangat baik di Eropa. Sebagai produk premium maka para pekerja dan petani hanya diperkenankan untuk menanam dan memelihara kopi, memetik dan menyerahkannya pada kolonial Belanda. Pekerja dan petani kopi dilarang untuk mencicipi kopi yang ditanam atau dijaganya. 

    Kami mencoba mengunjungi tempat pembuatan kawa daun yang lumayan masih otentik dan lumayan terkenal dari mulut ke mulut di daerah Tabek Patah, Tanah Datar. Dan kami memutuskan kesana dengan ber-gowes. Berangkat dari Payakumbuh sekitar jam 07.00 WIB saat kabut masih lumayan tebal dan udara cukup dingin. Trek menuju Tanah Datar ini sangat bervariasi. Ada (banyak) tanjakan, turunan (pastinya setelah tanjakan), jalan berkelok-kelok. Jadi jangan terkecoh dengan nama Tanah Datar, karena sangat jarang ditemui tanah yang benar-benar datar karena wilayahnya berupa perbukitan.

 Menyempatkan diri untuk sarapan dengan katupek gulai (sejenis lontong sayur)

 "Ayo buk, kita balapan nanjak" | "ini mah santapan tiap hari nak"

 Tanjakan dan kelokan yang seakan gak habis-habis

 Phuchuk.. Phuchuk... *korban iklan

 Tapi percayalah setelah tanjakan pasti ada turunan (biasanya)

Menuntun sepeda bukan sebuah aib kok... :)

    Kembali ke kawa daun, Tahun 1840 di Minangkabau diterapkan tanam paksa atau Cultuurstelsel. Petani diminta menanam kopi namun tak boleh memetiknya. Buah hasil tanaman kopi adalah kepunyaan kolonial Belanda. Para Meneer Belanda hanya mengijinkan petani untuk memetik daun kopi. Tak lupa Meneer Belanda mengatakan bahwa daun kopi lebih berkhasiat ketimbang bijinya. 

    Petani Minangkabau kemudian memetik daun kopi, yang lalu disangrai dan diseduh layaknya membuat minuman teh. Minuman itulah yang kemudian disebut sebagai Kawa Daun, atau daun kopi, mengingat kata kopi berasal dari Kahwa dalam bahasa Arab. Maka Kawa Daun berarti minuman yang berasal dari daun kopi.

    Meskipun Belanda pergi namun minuman Kawa Daun terus bertahan menjadi kebiasaan di beberapa daerah yang kini masuk di propinsi Sumatera Barat. Kawa Daun disajikan dalam kedai-kedai atau disebut sebagai Dangau Kawa, disajikan tidak dengan gelas melainkan tempurung kelapa (sayak) yang ditopang dengan potongan bambu di bawahnya. Disantap bersama gorengannya yang masih panas seperti pisang goreng, bakwan, tahu isi, bika bakar dan lain-lain. 

    Bila anda mencobanya untuk pertama sekali mungkin akan terasa begitu berbeda dan terasa begitu aneh di lidah anda. Namun bila anda menikmatinya dengan cara perlahan-lahan serta menikmatinya dengan santai dan biarkan aroma juga rasanya  berputar-putar, bermain-main di lidah serta di mulut anda maka anda akan benar-benar mendapatkan citarasanya yang sungguh sangat nikmat dan tak terlupakan.


Kurang lebih seperti inilah teh Kawa Daun yang disajikan di dangau-dangau

 Teman setia kawa daun, Gorengan dengan ukuran yang cukup "jumbo"

Salah satu dangau yang cukup terkenal di daerah Tabek Patah, tempatnya sederhana tapi pengunjungnya ramainya mintak ampuun...
  
    Penelitian terbaru di Inggris menemukan bahwa teh dari daun kopi ini ternyata lebih sehat ketimbang teh dan kopi sendiri. Menurut para ilmuwan dari Royal Botanic Gardens di Kew, London, dan Joint Research Unit for Crop Diversity, Adaptation and Development di Montpellier, teh daun kopi mengandung senyawa yang bermanfaat mengurangi risiko penyakit jantung dan diabetes.

    Berdasarkan penelitian, daun kopi mengandung antioksidan lebih tinggi dibandingkan teh biasa. "Yang mengejutkan adalah berapa banyak antioksidan dalam daun kopi. Jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan teh hijau dan teh hitam," ujar Dr Aaaron Davies, pakar kopi dan botani dari Royal Botanic Gardens seperti dilansir laman Telegraph. Tak hanya antioksidan, daun kopi juga mengandung bahan kimia alami yang berkhasiat mengatasi masalah peradangan. Bahan kimia alami ini biasanya ditemukan pada buah mangga. Dan benar pada masa awalnya kopi memang dikenal sebagai bahan obat ketimbang minuman. 


 Pemandangan menuju Tanah (yang katanya) Datar

4 Sep 2013

Raun Sumatera (Barat)

   Raun artinya adalah jalan-jalan dalam bahasa minang

    Berawal dari rasa penasaran kami akan keindahan ranah Minang yang sudah sering kami dengar tapi belum sempat untuk membuktikannya sendiri, maka dengan berbekal sedikit pengetahuan mengenai jalan dan "kenekatan" dimulailah perjalanan ini. Kami berangkat dengan sepeda motor dari Payakumbuh kurang lebih jam 7 pagi. Kondisi Payakumbuh saat itu masih berkabut, dan udara cukup dingin. Saya berboncengan dengan istri yang kebetulan saat itu belum ada satu bulan di Payakumbuh.

    Tujuan pertama kami sebenarnya hanyalah ke danau Maninjau yang terletak di Kabupaten Agam. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam dan 84 kilometer dari tempat kami, Payakumbuh. Sebelum sampai di danau, kita akan disuguhi kelokan tajam sebanyak 44 (atau mungkin lebih) jadi siapkan perut anda karena mungkin akan terasa sedikit mual. Untuk menghilangkan rasa mual kita bisa berhenti sebentar untuk menikmati pemandangan dan berinteraksi dengan monyet-monyet jinak yang ada di sepanjang jalan.

Panorama danau Maninjau dilihat dari Kelok 44

 

Nelayan sedang mencari ikan dan pensi sejenis keong yang merupakan khas danau Maninjau


    Merasa belum puas dengan keindahan danau Maninjau, karena ada "bisikan" dan provokasi dari seorang rekan, maka perjalanan dilanjutkan ke Lubuk Basung dimana konon katanya ada beberapa pantai bagus. Sampailah kami di pantai Bandar Mutiara. Cukup dengan membayar Rp 4.000,-/motor kita bisa menikmati pantai yang cukup unik dan asri. Bila biasanya di pantai kita menemui pohon kelapa, maka di pantai ini kita akan menemui deretan pohon pinus dan hamparan pasir putih. Yang lebih asyik lagi pantai ini cukup sepi dan bersih, jadi semacam private beach pada waktu kami kesana.

Perahu nelayan yang "terdampar" di pasir pantai


Hamparan pasir putih dan hijaunya pohon pinus sangat memanjakan mata

Tidak lupa untuk mencicipi jajanan yang banyak dijajakan oleh anak kecil di pantai Bandar Mutiara, yaitu udang, kepiting kecil, dan ikan kecil yang digoreng renyah dengan tepung.

    Lagi-lagi karena ada provokasi dari seorang kawan yang mengatakan bahwa tidak jauh dari lokasi kami sekarang, masih ada pantai lagi yang tidak kalah cantik, yaitu pantai Gandoriah di Pariaman. Pantai ini berjarak sekitar 60 km dari Kota Padang merupakan pantai dengan hamparan pasir putih yang dibalut hembusan angin sepoi serta gugusan pulau-pulau kecil. Bagi anda yang datang dari Kota Padang menggunakan kereta api tidak akan kesulitan menemukan lokasi Pantai ini karena letak stasiun pemberhentian kereta api Pariaman persis berada di pintu gerbang Pantai Gandoriah. Cukup melangkah beberapa langkah maka Anda sudah tiba di kawasan objek wisata Pantai Gandoriah. Tetapi karena kami dari arah lubuk basung dan menggunakan motor maka rute yang kami tempuh berbeda. Sampai di pantai, kami salat Ashar dulu di masjid yang cukup besar dan bersih di dekat pantai. Selesai salat, kami mengistirahatkan pantat yang panas dan penat karena terlalu lama berinteraksi dengan jok motor :) sembari menunggu sunset di pantai Gandoriah.

Gerbang masuk pantai Gandoriah


Menikmati sunset sejenak di pantai Gandoriah


    Puas menikmati sunset di pantai Gandoriah, selepas maghrib kami bertolak meninggalkan Pariaman untuk menuju Payakumbuh. Ditemani hujan rintik-rintik sepanjang jalan dan pengetahuan arah kami yang masih seadanya apalagi malam hari, mulailah kami mengandalkan insting dan mata serta telinga untuk bertanya hampir di setiap persimpangan jalan :). Akhirnya sekitar jam 21.30 WIB kami sampai di Jam Gadang, Bukittinggi. Melepas penat dan dingin sepanjang jalan, kami memutuskan untuk makan malam di sekitar Jam Gadang. Selesai makan malam, perjalanan dilanjutkan lagi ke Payakumbuh yang tinggal berjarak kurang lebih 36 KM lagi, tapi karena udara dingin menusuk serta rasa capek dan ngantuk menjadikan jarak Bukittinggi-Payakumbuh terasa sangat jauh. Alhamdulillah sampai di rumah (kontrakan) hampir pukul 24.00 WIB. Total jarak yang kami tempuh satu hari itu kurang lebih 200-an KM dan istri saya dalam keadaan hamil muda. Alhamdulillah kondisi kandungannya dalam keadaan sehat dan sekarang telah menjadi jagoan kecil kami yang entah ada korelasinya atau tidak, sangat senang sekali apabila diajak jalan-jalan.. :)
What's a Journey...

Suasana Jam Gadang di malam hari
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com