16 Agu 2022

Motoran ke Dieng?

Tahun ini adalah tahun ketiga 527 GPS berdiri, sebuah komunitas motor informal dari sebuah instansi pemerintahan dimana saya mengabdi. Memang tidak ada susunan pengurus maupun AD/ART semua hanya berdasarkan kesamaan hobi dan kekeluargaan. O iya GPS yang disematkan di nama kelompok ini adalah singkatan dari Gas Pol Sewidak yang dalam bahasa jawa berarti gas pol  enam puluh. Kenapa enam puluh (KM)? Karena peserta dari acara piknik touring ini banyak para lady biker dan tidak jarang juga ada yang mengajak putra-putri nya.


Pada touring kali ini kami mengambil tujuan adalah ke Dataran Tinggi Dieng yang terletak di Wonosobo (atau Banjarnegara?) dengan jarak di peta kurang lebih 119 km, tapi sepertinya lebih karena kami mengambil rute agak memutar lewat Selo dan mampir di Magelang untuk sarapan meeting point yang kedua. Perjalanan kali ini mungkin bisa dibilang salah satu wishlist saya, dimana pada kesempatan pertama pernah diajak teman-teman magang untuk touring ke Dieng namun saya belum bisa ikut karena kebetulan mereka mengajak di H-2 minggu pernikahan saya (sengaja mungkin) dan begitu baiknya mereka memberikan kado di hari pernikahan saya oleh-oleh khas wonosobo yaitu Purwaceng. Kesempatan yang kedua saya melewati Wonosobo saat perjalanan ke Purwokerto, pada saat itu saya berkata dalam hati bahwa suatu saat harus motoran ke sini.

        Dataran tinggi Dieng adalah dataran tinggi yang tepat di tengah Pulau Jawa. Terletak di antara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Wisata di sini lengkap, dari museum, candi, kuliner, kawah belerang, dan Puncak Sikunir. Karena keterbatasan waktu,maka tidak semua obyek wisata tersebut dapat kami kunjungi. Yang pertama adalah kawah Sikidang, yang merupakan lapangan perkawahan di Dataran Tinggi Dieng yang berada paling dekat dengan kawasan percandian Dieng, mudah dicapai, dan dinikmati karena terletak di tanah datar, sehingga juga menjadi kawah yang paling dikunjungi wisatawan.Sekarang dengan adanya jembatan kayu, kami tinggal mengikutinya saja untuk sampai di kawah utama. Selain memudahkan perjalanan wisatawan, jembatan kayu itu juga instagramable. Banyak wisatawan berfoto di jembatan kayu dengan latar belakang kawah utama yang mengeluarkan asap. Saat berjalan menuju pintu keluar, kami harus melalui area suvenir atau oleh-oleh. Banyak kios pengunjung yang menjual oleh-oleh khas Dieng, seperti carica sampai sabun belerang. Namun, ternyata jalan yang harus kami lalui untuk menuju pintu keluar cukup panjang. Bahkan, ada lebih dari 10 jalur “labirin” di area suvenir yang harus dilalui untuk sampai di pintu keluar.

        Destinasi yang kedua adalah Batu Pandang Ratapan Angin, nama yang cukup membuat kita mengernyitkan dahi. Nama ini mengingatkan saya akan suatu tempat di Payakumbuh, Sumatera Barat yaitu Jembatan Ratapan Ibu tentu dengan latar belakang dan alasan penamaan yang berbeda. Berada di atas Dieng Plateau Theater,tempat ini adalah spot terbaik untuk menikmati telaga warna dan telaga pengilon. Walaupun untuk sampai ke lokasi memerlukan sedikit perjuangan menaiki anak tangga namun rasanya akan terobati setelah kita sampai ke atas dan disajikan dengan pemandangan yang begitu indah.

Sekitar pukul 16.30 WIB kami bertolak dari Dieng untuk kembali ke Boyolali, menyempatkan mampir di warung Djoglo Wonosobo untuk mengisi perut dan solat Maghrib, akhirnya sekitar jam 21.00WIB saya sampai di Boyolali. Lelah namun mengenyangkan menyenangkan.



luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com