Tampilkan postingan dengan label Makassar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makassar. Tampilkan semua postingan

9 Jan 2014

Pisang Epe dan Pisang Kapik, Serupa tapi tak Sama


 Pisang Kapik, Sumbar

    Dua varian atau lebih tepatnya makanan olahan dari pisang ini mirip satu sama lain, walaupun terpisah jarak yang cukup jauh yaitu di pulau Sumatra dan pulau Sulawesi. Saya berkesempatan mencicipi pisang epe dari Makassar terlebih dahulu. Rasa legit dari pisang yang masih mangkel dan aroma bakaran arang sangat pas dinikmati di sore hari di tepi Pantai Losari. Pada saat di Sumatra Barat, memori tentang ke-legit-an pisang epe seakan terulang pada saat saya bertemu makanan yang bernama pisang kapik.

Pisang Epe

Pisang Epe (Photo: Google)
   
    Dalam bahasa lokal, Epe berarti jepit dan memang pisang ini dibuat dengan cara dipipihkan setelah dibakar. Pisang Epe menggunakan pisang raja sebagai bahan dasarnya. Pisang Epe disajikan dengan lumeran saus gula merah yang merupakan favorit para pembeli tapi saat ini sudah tersedia dalam berbagai rasa misalnya durian, coklat dan beserta taburan keju. Penampilan Pisang Epe memang cukup sederhana, begitu pula cara membuatnya. Namun, rasa yang ditawarkan sangat lezat, khususnya untuk menikmati malam hari di Pantai Losari. Aroma pembakaran pisangnya sangat khas, rasa manis dari gula arennya juga asli tanpa pemanis buatan.

    Penjual pisang epe ini bisa ditemui di sepanjang pantai Losari. Dan memang benar adanya, pisang epe adalah teman yang sangat cocok pada saat menikmati sunset di pantai Losari. Pantai losari dulunya bahkan pernah menjadi restoran pisang epe terpanjang di dunia. Menikmati sunset makasssar dari pantai losari tanpa menikmati pisang epe bagaikan sayur tanpa garam.

Pisang Kapik

    Pisang Kapik

    Secara harfiah Pisang Epe dan Pisang Kapik mempunyai makna sama yakni pisang yang dijepit. Perbedaannya, secara penampilan pisang kapik dibuat sepipih mungkin hingga menyerupai lempengan berbeda dengan Pisang Epe yang dibuat tidak terlalu pipih. Dan bahan dasar pisang epe adalah pisang raja sementara pisang kapik menggunakan pisang kepok sebagai bahan dasarnya.

    Tidak seperti pisang Epe yang disajikan dengan menggunakan gula merah cair, Pisang kapik disajikan dengan dibubuhi parutan kelapa yang sudah diolah dengan gula merah yang dimasak. Kombinasi rasa manis-asam, sensasi bau arang terbakar, dan rasa sepat berpadu dalam legitnya pisang kapik.. Pisang Kapik biasanya dibungkus dengan menggunakan daun pisang, yang menambah cita rasa dan aroma Pisang Kapik itu sendiri. Apabila pisang epe dinikmati sembari menyaksikan sunset di pantai, sedangkan pisang kapik ini cocok dinikmati saat udara dingin. Maka dari itu penjual pisang kapik banyak ditemui di daerah Padang Panjang, Bukittinggi, atau Lembah Harau di Payakumbuh dimana daerah-daerah tersebut adalah daerah berudara sejuk. 

    Dan Kesimpulannya... tak terbantahkan lagi bahwa dua makanan pisang yang dijepit ini sungguh nikmat dan layak untuk dicicipi... joss!!

8 Okt 2013

Fort Rotterdam, Benteng Indah di Bumi Anging Mamiri

    Megah dan indah, kesan pertama yang muncul ketika pertama kali menjejakkan kaki di komplek benteng Fort Rotterdam atau dulu bernama benteng Ujung Pandang. Tidak seperti benteng lain yang kebanyakan sudah berupa puing dan tidak terawat, benteng Fort Rotterdam ini tertata rapi dan kondisi bangunannya masih relatif bagus. Ada lagi yang menggelitik di perasaan saya adalah desain dan gaya bangunan Fort Rotterdam yang sangat kental nuansa Eropa, ternyata adalah peninggalan dari nenek moyang kita yaitu Kerajaan Gowa-Tallo. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros.

 Taman di tengah benteng

Pintu masuk Fort Rotterdam

     Benteng ini memiliki bentuk yang unik. Jika kita perhatikan di maket yang terdapat di museum La Galigo, bentuknya menyerupai kura-kura. Terdapat empat bastion utama yang seolah-olah menjadi kaki untuk sang kura-kura. Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.
Untuk menghubungkan masing-masing bastion digunakan tembok kokoh dengan konstruksi batu padas. Di sepanjang tembok ini terdapat jalur menyerupai parit yang digunakan oleh pasukan penjaga benteng untuk berlindung dan berpindah antar bastion. Kita bisa menaiki dan menyusuri tembok ini untuk merasakan sensasi menjadi prajurit penjaga benteng.

    Karena bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainya Benteng Panyyua. Bentuknya ini menjelaskan filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Pada masa kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak.

 Tembok penghubung antar bastion

    Namun pada akhirnya Kerajaan Gowa-Tallo harus menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

 Arsitektur benteng sangat kental nuansa kolonial

 Deretan jendela benteng yang membentuk pola simetris

 Suasana indah dan asri

    Di kompleks Benteng Fort Rotterdam juga terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan WeCudai Daeng Risompa dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad ke-14. Berada di dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan rakyat Sulawesi Selatan di zaman dulu.

 Museum La Galigo

    Yang sedikit saya sayangkan adalah keberadaan panggung pertunjukan yang ada di tengah taman benteng Fort Rotterdam, entah ini hanya kebetulan ada pada saat saya berkunjung ke sana atau memang sengaja dibuat disana untuk mengadakan pertunjukan rutin. Dengan adanya panggung ini seakan "merusak" suasana dan tema Benteng yang megah dan indah menjadi semacam taman hiburan (IMHO). 

Panggung pergelaran dan renovasi benteng

Panggung di tengah taman yang agak "mengganggu"

 Sisi lain benteng yang belum direnovasi

Detail jendela benteng
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com